Kabar Terkini

Anak Seorang Buruh Tani Miskin, Lulus Sarjana Selama 3,5 Tahun Predikat Cum Laude - Kick Andy

Walaupun miskin hanya mampu makan nasi dan garam plus krupuk. mampu lulus IPK 39,8 Angga Dwi Tuti Lestari, mahasiswi universitas negeri Sebelas Maret, Solo dan tetap aktif di organisasi serta mengajar anak-anak TPA. Hingga ia pun sampai pergi belajar ke negeri German dan Belanda :)

Bekal semangat dari kondisi kemiskinan orang tua di rumahnya, menjadikan ia semakin bersemangat untuk selalu belajar !
http://infojurnalku.blogspot.co.id/2018/04/anak-seorang-buruh-tani-miskin-lulus.html

Anak Seorang Buruh Tani Miskin, Lulus Sarjana Selama 3,5 Tahun Predikat Cum Laude - Kick Andy.




Berikut ini adalah tayangan wawancara di kick Andy :

https://drive.google.com/file/d/1XMdhOsSxaHZgNoAn19_XkedeyLxUICXR




Bekal semangat dari kondisi kemiskinan orang tua di rumahnya, menjadikan ia semakin bersemangat untuk selalu belajar !

http://infojurnalku.blogspot.co.id/2018/04/anak-seorang-buruh-tani-miskin-lulus.html

Anak Seorang Buruh Tani Miskin, Lulus Sarjana Selama 3,5 Tahun Predikat Cum Laude - Kick Andy.

Berikut ini adalah tayangan wawancara di kick Andy :

https://drive.google.com/file/d/1XMdhOsSxaHZgNoAn19_XkedeyLxUICXR

Semangat yang Luar Biasa ... (1)

Angga Dwi Tuti Lestari

Selepas lulus dari kuliah dari jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dengan nilai Indeks Prestasi nyaris sempurna 3,98, Angga Dwi Tuti Lestari kini bersiap untuk melanjutkan studi ke Belanda.

Karena memiliki nilai IPK tinggi, hijaber anak petani ini memang mendapatkan tawaran beasiswa dari Lembaga Pengelola Lembaga Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI.

“Saat ini sedangkan mengurus pendaftaran dan mengikuti seleksi untuk melanjutkan jenjang ke strata dua di University of Leiden, Belanda. Nanti pengumumannya September. Kalau lolos ya, kuliahnya tahun depan,” kata Eng –sapaan akrabnya– saat berbincang dengan Dream.co.id, Rabu 18 Juni 2014.

Tak ingin beasiswa yang diberikan sia-sia, Eng terus belajar keras meningkatkan nilai TOEFL yang diisyaratkan untuk menempuh studi di negeri kincir angin tersebut. Sambil persiapkan diri, ia juga mengiisi kegiatan dengan mengajar di Taman Pendidikan Alquran (TPA) di desanya, setiap akhir pekan.

“Dalam program beasiswa S2 saya mengambil Jurusan Plant Biology and Natural Product,” kata gadis yang bercita-cita menjadi dosen dan pengusaha.

Menurutnya jika kelak menjadi dosen ia berharap bisa membagi ilmu kepada orang lain. “Orangtua saya selalu bilang, amalkan ilmu yang kita punya,” imbuhnya.

Hadiah Mie Ayam

Kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan justru membuat Eng bersyukur. Ia justru belajar banyak soal kerja keras dan laku prihatin. Bapak dan ibunya tak pernah memberikan kado spesial atas prestasi yang didapatkan dia. Kata Eng, kado spesial justru selalu diberikan mereka setiap saat, yakni keharmonisan keluarga.

Meski begitu, Eng mengaku jika kedua orangtuanya selalu membeli mie ayam saat dia menjadi juara satu. “Tradisi itu masih berlangsung hingga sekarang. Bahkan saat meraih IPK 3,98 itu juga dibelikan mie ayam, ” kenang dia.

Saat kuliah, Eng menerapkan pola hidup sederhana seperti yang dilakukan orangtuanya. Dia juga tak mau membebani ayah dan ibunya yang cuma buruh tani. Hanya dengan bekal uang Rp600 ribu/bulan dari beasiswa Bidikimisi dan uang saku Rp50 ribu/bulan dari orangtua, Eng mampu menyelesaikan kuliahnya.

Untuk mendapatkan biaya tambahan sehari-hari, dia bekerja menjadi guru les dan merintis usaha kecil-kecilan jualan jus organik.

“Jadilah bahagia dengan pilihan hidupmu, karena hidup tak pernah memaksa untuk dipilih olehmu. Untuk semua yang senantiasa memberi harapan dan kepercayaan, Hanya doa yang mampu terpanjat sebagai jawaban” tulis Eng dalam akun Facebook-nya usai lulus dengan IPK tertinggi.
___

Semangat yang Luar Biasa ... "(2)

Saat kuliah, Angga menerapkan pola hidup sederhana seperti yang dilakukan orangtuanya. Dia juga tak mau membebani ayah dan ibunya yang cuma buruh tani. Hanya dengan bekal uang Rp600 ribu per bulan dari beasiswa Bidikimisi dan uang saku Rp50 ribu per bulan dari orangtua, Angga mampu menyelesaikan kuliahnya dalam tempo empat tahun.

Angga juga merintis usaha kecil-kecilan. Begitu dia mendapat beasiswa Bidikmisi, beasiswa tersebut dia gunakan untuk merintis usaha jus organik. Pelan namun pasti, usaha jus organik yang dirintis di kampung halamannya, yaitu di Yogya berjalan cukup sukses.

"Setiap bulan saya menabung Rp100 ribu. Setelah terkumpul Rp1 juta saya gunakan untuk buka usaha itu. Bahkan saya mampu menyewa tempat kecil-kecilan di depan SMP 1 Godean," ujar wanita berhijab ini.

Berkat jus organik juga, Angga terinspirasi membuat makalah “One Student One Tree.” Hingga akhirnya, Angga mendapatkan kepercayaan penuh mewakili Indonesia bersama dua mahasiswa lainnya dalam pertemuan World Student Environment Summit yang diikuti 34 negara di Jerman pada 2013 lalu.

Selepas lulus dari kuliah, Angga Dwi Tuti Lestari kini bersiap untuk melanjutkan studi ke Belanda. Karena memiliki nilai IPK tinggi, hijaber anak buruh tani ini memang mendapatkan tawaran beasiswa dari Lembaga Pengelola Lembaga Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI.

Tak ingin beasiswa yang diberikan sia-sia, Angga terus belajar keras meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris yang diisyaratkan untuk menempuh studi di negeri kincir angin tersebut.

Sambil mempersiapkan diri, ia juga mengisi kegiatan dengan mengajar di Taman Pendidikan Alquran (TPA) di desanya setiap akhir pekan.

Sabtu petang kemarin, Angga meminta wawancara diundur malamnya karena dia tengah sibuk mengajar Iqra di TPA tersebut.

“Dalam program beasiswa S2 saya mengambil Jurusan Plant Biology and Natural Product,” kata gadis yang bercita-cita menjadi dosen ini.

Cerita tentang Angga barangkali adalah sebuah kisah tentang kegigihan di tengah keterbatasan. Walau sejak kecil terperangkap oleh kesulitan ekonomi, Angga dan keluarga tak pernah menyerah dalam keterbatasan.

Justru keterbatasan dijadikan Angga sebagai cambuk untuk maju. Dan, usaha keras Angga kini berbuah manis. Ia menjadi wisudawan terbaik universitas tersohor dengan nilai tertinggi. Kemiskinan dan keterbatasan karenanya bukan takdir. Ia selalu bisa dilawan. Selama asa masih di kandung badan...
.....

Hari masih gelap. Azan subuh baru setengah jam lalu berkumandang. Namun kesibukan sudah tampak di rumah Supriyanto, buruh tani berusia 45 tahun itu. Usai salat subuh bersama istrinya, Sugiyanti, dia sudah berpakaian rapi. Tentu bukan hendak pergi ke sawah.

Ini hari istimewa, bagi keluarga yang tinggal di Desa Cibuk Lor 1, Margoluwih, Seyegan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini. Puteri bungsu mereka, Angga Dwi Tuti Lestari, 22 tahun, hari itu akan diwisuda menjadi sarjana di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Satu-satunya sarjana di keluarga sederhana itu.

Seorang tetangga, bermurah hati mengantar keluarga itu. Dia pinjamkan mobil sekaligus mengemudikannya. Nenek Angga yang berusia 60 tahun ikut dalam rombongan kecil itu. Jelang terbit matahari, rombongan berangkat ke Solo.

Mereka sampai di Aula Gedung B Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (MIPA) UNS sejam kemudian. Penanggalan di telepon seluler Angga menunjuk hari Senin, 16 Juni 2014. Setiba di kampus, Angga bergabung bersama rombongan mahasiswa lainnya.

Sementara orang tuanya masuk lewat pintu undangan. Supriyanto minder melihat penampilan orang tua mahasiswa lainnya yang rapi. Ia pun mengajak rombongan kecilnya memilih bangku paling pojok di barisan paling belakang. Nyaris tak terlihat.

Tepat pukul 09.00 WIB prosesi wisuda dimulai. Angga diberi kesempatan memberi sambutan mewakili mahasiwa Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, yang diwisuda. Mendengar nama anaknya disebut, wajah Supriyanto dan istri tampak bangga.

Saat itu Angga mengucapkan terimakasih pada pihak Dekanat yang banyak membantu dalam studi hingga biaya kuliah. Maklum, Angga adalah mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi, sebuah bantuan biaya pendidikan yang hanya ditujukan untuk calon mahasiswa miskin sejak tahun pertama kuliah, 2010 lalu.

Tibalah saat sambutan Dekan Fakultas MIPA UNS, Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, MSc (Hons), PhD. Sang dekan sempat mengulas sambutan Angga. Dan yang lebih mengejutkan, Dekan mengumumkan wisudawan terbaik UNS 2014. “Dia adalah Angga Dwi Tuti Lestari, mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas MIPA dengan perolehan indeks prestasi kumulatif (IPK) nyaris sempurna, yakni 3.98.”

Suara tepuk tangan memenuhi Aula, siang itu. Supriyanto dan istri pun langsung mengucapkan syukur. Di tengah gemuruhnya tepuk tangan, Dekan meminta orang tua Angga berdiri.

Tubuh Supriyanto dan Sugiyanti gemetar. Susah payah mereka berusaha berdiri ketika sekitar seribuan pasang mata memandang ke arah mereka. Saat melihat sosok pasangan itu, tepuk tangan makin bergema dan berlangsung panjang.

Kedua orang tua Angga sungguh terkejut. Karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan dari universitas bahwa anak mereka menjadi wisudawan terbaik. Mereka tak mampu menahan haru. Di tengah tepuk tangan yang membahana, keduanya menangis tersedu. Melihat orang tuanya menangis bahagia, di atas panggung, Angga juga ikut menangis terharu.

Usai acara, Supriyanto mendatangi Angga. Ia berkata pada anaknya: “Kalau bapak tahu kamu jadi lulusan terbaik, bapak akan pakai baju yang lebih baik,” ujarnya seperti yang dituturkan ulang oleh Angga pada Dream.co.id dengan suara tercekat, Sabtu 10 Januari 2014.

Ritual belum selesai....
...................

Ritual belum selesai. Seusai menghadiri wisuda bersama mahasiwa fakultas lain di Auditorium Kampus UNS, dan meladeni wawancara dengan belasan wartawan media massa, rombongan kecil ini pulang ke Yogya.

Saat itu sudah hampir jam sembilan malam. Rombongan kecil itu kemudian berhenti di Cebongan, Mlati, Sleman. Tepatnya dekat lembaga pemasyarakatan Cebongan. Di sana ada sebuah gerobak mie ayam yang masih buka di pinggir jalan. Di sanalah mereka berhenti. Lalu menikmati mie ayam seharga Rp 5.000 per porsinya.

“Tradisi ini sudah lama. Sejak kelas 1 SD saat jadi juara kelas saya selalu dibelikan bapak mie ayam. Saat saya jadi wisudawan terbaik pun, hadiah dari bapak tetap mie ayam.” ujar Angga.

Angga sendiri merasa bahagia pada ritual kecil itu. Pada saat ia duduk di kelas 1 sampai 5 SD, dia biasanya hanya dibelikan mie ayam sekali setahun. Karena saat itu pendapatan ayahnya yang cuma tamatan SMP itu memang pas-pasan. Barulah setelah kelas 6 SD sampai kelas 3 SMA, dia ditraktir ayahnya setiap semester, saat dia selalu menyabet juara satu.

Angga sendiri memandang serius makna mie ayam hadiah ayahnya itu. “Arti mie ayam itu luar biasa. Membuat saya tidak melihat segala sesuatu dengan uang. Yang penting bagaimana bisa berguna bagi orang tua dan membantu orang, itu sudah luar biasa.”

Sebagai anak seorang buruh tani, Angga pun sempat merasakan saat-saat pahit. Itu terjadi saat ia mau naik kelas 6 SD. Saat itu, sawah garapan ayahnya gagal panen. Ayahnya lalu bekerja jadi kuli bangunan. Tapi itu pun dia ditipu sehingga tak membawa uang ke rumah. Akibatnya Angga dan kakak laki-lakinya yang usianya terpaut dua tahun di atasnya, Eka Galih Purnama, terpaksa hanya makan nasi beserta garam.

Tapi kesulitan itu tak membuat ayah atau ibunya yang cuma bersekolah sampai kelas 2 SD, menyetop sekolah Angga dan kakaknya. Bagi ayah dan ibunya pendidikan tetap nomer satu. “Hidup susah tidak apa-apa, yang penting pendidikan nomer satu,” kata ayahnya seperti dikutip Angga, lagi-lagi dengan suara tercekat.

Itulah juga yang membuat ibunya rela berhutang bagi biaya sekolah saat Angga duduk di TK. Saat itu ibunya meminjam uang ke rentenir Rp 100 ribu. Lalu Rp 300 ribu. Namun karena hidup tengah susah, utang itu tak mampu terbayar. Akhirnya utang itu sampai tahun 2014 membengkak sampai Rp 10 juta karena terus berbunga.

Kesulitan hidup itu juga yang membuat kakak Angga, Eka Galih Purnama, memilih bekerja setelah menamatkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Padahal, kata Angga, kakaknya lebih pintar dari dirinya. Ia adalah lulusan terbaik nomer dua di SMK itu. Sehingga saat dia lulus SMK empat tahun lalu, dia langsung direkrut dan bekerja di PT Trakindo Balikpapan, Kalimantan Timur. Kakaknya juga yang mencicil utang ibunya. Dan utang Rp 10 juta itu baru lunas akhir tahun kemarin.

Saat memilih bekerja, Eka sempat berpesan pada Angga, “Biar saya yang bekerja, kamu yang tetap sekolah,” ujar Angga mengenang dengan suara parau nyaris menangis. Menurut Angga, pengorbanan kakaknya itu pula yang memacu dirinya untuk mempersembahkan yang terbaik bagi keluarga.

Saat kuliah...

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Saat kuliah, Angga menerapkan pola hidup sederhana seperti yang dilakukan orangtuanya. Dia juga tak mau membebani ayah dan ibunya yang cuma buruh tani. Hanya dengan bekal uang Rp600 ribu per bulan dari beasiswa Bidikimisi dan uang saku Rp50 ribu per bulan dari orangtua, Angga mampu menyelesaikan kuliahnya dalam tempo empat tahun.

Angga juga merintis usaha kecil-kecilan. Begitu dia mendapat beasiswa Bidikmisi, beasiswa tersebut dia gunakan untuk merintis usaha jus organik. Pelan namun pasti, usaha jus organik yang dirintis di kampung halamannya, yaitu di Yogya berjalan cukup sukses.

"Setiap bulan saya menabung Rp100 ribu. Setelah terkumpul Rp1 juta saya gunakan untuk buka usaha itu. Bahkan saya mampu menyewa tempat kecil-kecilan di depan SMP 1 Godean," ujar wanita berhijab ini.

Berkat jus organik juga, Angga terinspirasi membuat makalah “One Student One Tree.” Hingga akhirnya, Angga mendapatkan kepercayaan penuh mewakili Indonesia bersama dua mahasiswa lainnya dalam pertemuan World Student Environment Summit yang diikuti 34 negara di Jerman pada 2013 lalu.

Selepas lulus dari kuliah, Angga Dwi Tuti Lestari kini bersiap untuk melanjutkan studi ke Belanda. Karena memiliki nilai IPK tinggi, hijaber anak buruh tani ini memang mendapatkan tawaran beasiswa dari Lembaga Pengelola Lembaga Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI.

Tak ingin beasiswa yang diberikan sia-sia, Angga terus belajar keras meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris yang diisyaratkan untuk menempuh studi di negeri kincir angin tersebut.

Sambil mempersiapkan diri, ia juga mengisi kegiatan dengan mengajar di Taman Pendidikan Alquran (TPA) di desanya setiap akhir pekan. Seperti saat dihubungi Dream.co.id, Sabtu petang kemarin, Angga meminta wawancara diundur malamnya karena dia tengah sibuk mengajar Iqra di TPA tersebut.

“Dalam program beasiswa S2 saya mengambil Jurusan Plant Biology and Natural Product,” kata gadis yang bercita-cita menjadi dosen ini.

Cerita tentang Angga barangkali adalah sebuah kisah tentang kegigihan di tengah keterbatasan. Walau sejak kecil terperangkap oleh kesulitan ekonomi, Angga dan keluarga tak pernah menyerah dalam keterbatasan.

Justru keterbatasan dijadikan Angga sebagai cambuk untuk maju. Dan, usaha keras Angga kini berbuah manis. Ia menjadi wisudawan terbaik universitas tersohor dengan nilai tertinggi. Kemiskinan dan keterbatasan karenanya bukan takdir. Ia selalu bisa dilawan. Selama asa masih di kandung badan...
...............

part 3 klik :

https://www.facebook.com/video.php?v=870493312989146

part 1 ,,, klik :

https://www.facebook.com/video.php?v=870497389655405


full 1 jam ... bisa didonlot klik di sini :

https://drive.google.com/file/d/0B2qsH5JBwrs4WEkwUlJ0M3ZXRGM/view?usp=sharing

..............

sumber : *************.co.id


__________________________________


Siswa Berprestasi

Mahasiswa UNS Raih IPK 3,98

indosiar
Solo - (18/06/2014) Lahir dari keluarga kurang mampu, bukan halangan untuk meraih prestasi. Adalah, Angga Dwi Tuti Lestari, mahasiswi universitas negeri Sebelas Maret, Solo yang sehari-hari sebagai penjaja es. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan nilai nyaris sempurna, bahkan mendapat tawaran beasiswa pascasarjana ke Belanda.

Inilah Angga Dwi Tuti Lestari, lulusan terbaik universitas Sebelas Maret Solo yang akan meneruskan studinya di Belanda. Mahasiswi jurusan biologi ini terus memperdalam berbagai pengetahuan dalam berbagai hal.

Berkat ketekunannya, gadis yang sehari-harinya berjualan es ini, menjadi lulusan terbaik kampus tempat dirinya belajar, dengan indeks prestasi nyaris sempurna, 3,98 saat wisuda 14 Juni 2014 lalu. Nilai tertinggi ini membuatnya semakin bersyukur dan terus giat belajar, untuk mencapai cita-citanya menjadi guru, di Sayegan, Sleman, Yogyakarta.

Angga pun tak menyangka, dirinya yang berasal dari keluarga tak mampu ini akan dapat menuntut ilmu setinggi ini. Supriyanto, ayah Angga hanya lulusan SD dan berprofesi sebagai petani. Sementara Sugiyanti, ibunya, tidak bersekolah, dan hanya menjadi ibu rumah tangga.

Namun, dukungan dari keduanya lah, yang menjadi cambuk bagi Angga, untuk membuktikan bahwa dirinya mampu membuat bangga kedua orang tuanya. Kini Angga telah siap menapak jalan panjang di depannya. Menggapai cita-cita sebagai dosen dan pengusaha, memajukan masyarakat di desanya.(Abdullah Faqih,Her)
_____________

(part3)

walopun orang tua hanya memiliki gaji bulanan hanya 700ribu rupiah perbualan namun anak ini bisa punya IPK 3,98

rahasia nya ternyata adalah ....
SEMANGAT BESAR yang terbangun sejak anak2
selalu belajar didampingi orangtua nya
satiap setelah sholat maghrib setiap hari ,,

orang tuanya selalu menemani ketika ia belajar ,,,
walopun orang tua tak bisa membantu mengajarinya belajar

tapi suportnya sangat luar biasa

kata orang tuanya :
biarlah kami saja yang menderita ,,, kamu harus tetep belajar agar bisa menjadi lebih baik lagi daripada kami.

__________Tayangan full 1 jam ... kick Andy :

No comments

Featured Post

Pengelolaan Kinerja Guru (PKG) tahun 2025

📑 [PKG 2025] Berikut ini materi/panduan untuk Penilaian Pengelolaan Kinerja Guru (PKG) tahun 2025. 1. Pengelolaan Kinerja Guru 2. Pengelola...